BERMULA DARI KERBAU YANG DI TELANTARKAN
Sejarah
Pada jaman Kerajaan Demak, konon di Desa Tegalsambi, Jepara, tinggal
seorang petani kaya bernama Kiai Babadan yang banyak sekali memiliki
kerbau dan sapi. Tentu ia tidak dapat mengembalakan sendiri
ternak-ternaknya. Ia kemudian meminta tetangganya yang bernama Ki
Gemblong untuk menggembalakan ternaknya.
Meski berat, Ki Gemblong menyanggupi pekerjaan ini. Namun Ki Gemblong
tidak melakukan pekerjaan sesuai dengan kesanggupanya. Sebaliknya ia
menelantarkan kerbau dan sapi milik Kiai Babadan sehingga hewan itu
menjadi kurus dan penyakitan.
Pada awalnya memang Ki Gemblong masih bisa menyembunyikan keadaan itu.
Namun akhirnya Kiai Babadan mengetahui. Ia menjadi geram ketika melihat
bahwa kondisi ternak miliknya yang kurus dan sakit-sakitan itu dibabkan
oleh keteledoran yang disengaja oleh Ki Gemblong. Oleh karena
kegeramannya yang memuncak, maka Kiai Babadan menghajar Ki Gemblong
dengan mengunakan obor dari pelepah kelapa.
Menerima perlakuan yang demikian ini, Ki Gemblong ternyata tidak tinggal
diam. Ia juga segera mengambil pelepah daun kelapa untuk melanjutnya
dinyalakan sebagai obor untuk menghadapi Kiai Babadan. Dengan demikian
terjadilah pertarungan atau perang obor antara Kiai Babadan dan Ki
Gemblong.
Bukannya makin mereda, pertarungan ini semakin lama semaki sengit.
Serunya pertarungan mengakibatkan terbakarnya kandang sapi dan kerbau.
Seluruh hewan di dalam kandang pun akhirnya lari tunggang-langgang
ketakutan. Namun demikian aneh sekali bahwa ternak yang semula
berpenyakitan malah menjadi sembuh. Setelah mengetahui kenyataan seperti
itu mereka berdua pun akhirnya mengakhiri perkelahian mereka.
Berdasarkan tradisi lisan yang berkembang di kalangan masyarakat
Tegalsambi, sejak itu, anak-cucu Kyai Babadan dan Ki Gemblong lalu
melakukan upacara perang obor ini dimaksudkan untuk mengusir segala roh
jahat yang mendatangkan penyakit. Upacara itu dilengkapi pula dengan
pergelaran wayang kulit. Ada prosesi untuk mengarak pusaka (Pedang
Gendir Gambang Sari dan Podang Sari, sebuah arca, dan sebuah beduk
dobol) yang dipercayai sebagai warisan sunan Kalijaga kepada Kebayan
Tegalsambi. Kedua pedang kayu itu, konon, merupakan serpihan kayu yang
dipakai membangun Masjid Demak
Simbol-simbol upacara
Peralatan utma yang dibutuhkan dalam upacara perang obor ini adalah
pelepah daun kelapa kering (blarak). Selain itu jaga dibutuhkan daun
pisang kering sebagai campuran bahan pembakar daun kelapa tersebut.
Campuran pelepah daun kelapa kering dengan daun pisang ini kemudian
ditata dengan bentuk tertentu sehingga bisa digunakan untuk memukul
ataupun menusuk lawan. Pakaian yang digunakan saat ini sudah menggunakan
seragam khusus untuk acara ini.
Pada saat ini para “pemain“ cendrung menggunakan pakaian yang bisa
melindungi badan mereka dari pukulan obor yang bisa membuat kulit
menjadi melepuh. Jadi peralatan obor yang terbuat dari daun kelapa dan
daun pisang kering merupakan peralatan yang mememang sesuai dengan apa
yang diceritakan dalam legenda Kyai Babadan dan Ki Gemblong.
Sedangkan obor dapat mempresentasikan sebuah symbol yang merupakan alat
untuk mengusir kekuatan jahat yang mendatangkan penyakit dan berbagai
mala petaka lain. Peralatan lain yang digunakan adalah beberapa benda
yang dipandang keramat oleh masyarakat Desa Tegalsambi yang diarak pada
waktu prosesi perang obor akan berlangsung yaitu sebuah arca, dua pedang
kayu, dan bedug.
Prosesi upacara
Perang obor itu dilakukan oleh sekitar 50 orang warga desa. Jika kulit
melepuh atau lebam kena gebuk akibat perang itu, luka tersebut bisa
dipulihkan dalam sekejap dengan olesan air londoh. Oleh masyarakat
setempat hal ini dipandang sebagai keajaiban dari Tuhan. Hal semacam ini
bukan hanya diyakini oleh masyarakat awam namun juga dari pimpinan dari
desa itu. Namun demikian para perangkat desa tidak mau menjelaskan air
londoh itu berasal dari mana dan apa formulanya.
Biasanya upacara ini dilakukan pada bulan Zulhijjah, tepat malam Selasa
Pon. Sebelum acara perang obor dimulai, terlebih dahulu diadakan
selamatan di tujuh tempat yang dikeramatkan oleh masyarakat Tegalsambi.
Setelah itu dilakukan penyembelihan seekor kerbau jantan muda yang belum
pernah dipakai untuk membajak. Penyembelihan ini dilakukan di rumah
kepala desa. Pada pukul 17.30 WIB (menjelang malam Selasa Pon) Salah
satu perangkat desa (biasanya bayan / seksi keamanan) menaruh sesajen
(berupa kendil berisi darah kerbau, sebagian jeroan, dan daging yang
sudah dimasak). Menjelang pukul 20.00 WIB, sepanjang jalan menuju rumah
petinggi dipadati ribuan pengunjung baik dari desa setempat maupun
desa-desa lain. Sebelum api obor disulut pada pukul 20.00 WIB, petinggi
diarak oleh pasukan obor mulai dari rumahnya hingga ke pusat upacara, di
perapatan jalan tengah desa. Petinggi mengenakan pakaian adat jawa,
diapit dua pawang api dan sesepuh desa.
Tepat pukul 20.00 upacara perang obor dimulai. Para peserta memakai
seragam khusus bersepatu dan bertutup kepala. Doa-doa memohon restu
kepada dayang (penguasa bumi Tegalsambi) pun dilakukan. Kemenyan
dibakar, kemudian diiringi gending Kebo Giro, 50 orang dari empat
jurusan di jalan desa menghambur ke perampatan jalan dengan obor blarak
yang menyala. Perang pun dimulai dan berlaangsung selama hampir satu
jam.
Sesuai upacara perang obor banyak anggota pasukan obor yang tangannya
terluka lecet. Sekitar satu jam “peperangan” usai para anggota pasukan
langsung menuju ke rumah kepala desa untuk mengobati luka dengan air
kembang dari pusaka desa bernama Ki Songgo Buwono yang ruwat dirumah
kepala desa.