tradisi Indonesia

tradisi Indonesia
animasi

Rabu, 18 Maret 2020

KEBO KEBOAN BANYUWANGI

KEBO-KEBOAN

Kebo-keboan Alasmalang, Banyuwangi -  Indonesia / foto : Wisnu Bangun Saputro 
Kebo-Keboan merupakan salah satu upacara adat yaitu berubah menjadi kebo Banyuwangi. Sesuai namanya, Kebo-Keboan dilakukan dengan berubah menjadi kerbau. Namun, kerbau yang digunakan bukan kerbau sungguhan, melainkan manusia yang berubah menajdi kerbau. Dengan di kututk oleh masyarakat. Upacara adat tersebut sudah adat sejak 300 tahun yang lalu, tepatnya pada abad ke-18. Kebo-Keboan biasa dilakukan di awal bulan Suro, penanggalan Jawa. Tujuan dari upacara adat ini adalah bentuk rasa syukur kepada Allah swt, atas hasil panen yang melimpah dan merupakan doa, agar proses tanam benih untuk tahun depan dapat menghasilkan panen yang melimpah. Terdapat dua desa di Banyuwangi yang masih melestarikan tradisi Kebo-Keboan. Desa tersebut adalah Aliyan dan Alasmalang. Tujuan dan fungsinya sama, yang membedakan adalah alur penyajiannya. Di desa Aliyan seluruh ritual masih dilakukan secara aturan adat, sedangkan Kebo-Keboan di desa Alasmalang merupakan imitasi yang dilakukan dengan tujuan pariwisata. Kerbau mempunyai simbol sebagai tenaga andalan bagi petani. Binatang kerbau merupakan binatang yang lekat dengan kebudayaan agraris. Dalam kehidupan agraris, kerbau dan sapi, merupakan binatang yang membantu petani dalam mengolah lahan sawahnya. Bahkan dalam mengolah sawah kerbau dianggap lebih kuat daripada sapi. Binatang kerbau di berbagai wilayah di Indonesia menjadi binatang penting dalam ritual adat.

SEJARAH

Potret Mbah Muradji muda, Banyuwangi -  Indonesia / foto : Wisnu Bangun Saputro 
Legenda tentang upacara adat Kebo-Keboan berasal dari kisah Buyut Karti yang mendapat wagsit untuk menggelar upacara bersih desa, dengan tujuan agar bisa menyembuhkan wabah penyakit di Desa Alasmalang. Penyakit tersebut tidak bisa disembuhkan oleh kekuatan manusia. Bila terkena penyakit di malam hari, maka paginya akan mati. Selain wangsit tersebut, para petani juga diminta agar menjelma menjadi seperti kerbau. Hingga akhirnya upacara adat tersebut menjadi sebuah kebiasaan dan dianggap menjadi kearifan lokal di desa tersebut. Bila melihat sejarah upacara Kebo-Keboan sudah ada sejak abad 18. Upacara adat ini pada zaman dahulu merupakan sebuah media untuk melestarikan tradisi luhur. Di tahun 1960 tradisi ini mulai jarang dilaksanakan. Setelah reformasi tradisi kebo-keboan muncul kembali di Desa Alasmalang. Inisiator kembalinya Kebo-Keboan di masyarakat atas bantuan Sahuni. Selain di desan Alasmalang, tradisi ini juga berkembang di desa Aliyan.

Mbah Muradji (75) Tokoh Kebo-leboan Alasmalang , Banyuwangi -  Indonesia / foto : Wisnu Bangun Saputro 
Mbah Muradji (75) merupakan pelestari Tradisi Kebo-keboan di Desa Alasmalang, Kabupaten Banyuwangi. Saat ditanya kapan alasannya aktif melestarikan tradisi kesenian tersebut, Dia menjelaskan bahwa, Tradisi yang dijalaninya sejak tahun 1960 ini merupakan warisan budaya turun temurun dari Kakek Buyutnya yaitu Buyut Karti (alm) yang merupakan pendiri tradisi kebo-keboan di daerah tersebut pada awal Abad 18 Masehi. "Pada saat Tahun 1994, Saya menjadi perwakilan Kabupaten Banyuwangi dalam Pekan Budaya Jawa Timur, yang saat itu berlokasi di Kabupaten Jember, Jawa Timur. Dalam ajang Nasional tersebut Alhamdulillah saya mampu membanggahkan Kabupaten Banyuwangi dengan berhasil masuk sebagai 10 Besar Budaya Lokal Terbaik Seluruh Indonesia." Lanjutnya dengan menunjukan foto saat melakonkan kebo-keboan.

Makna tradisi Kebo-Keboan berkaitan juga dengan ajaran Hindu dan Budha[6]. Di dalam kitab Purana, tokoh Dewi Durga digambarkan mempunyai tangan delapan. Tangan kanan berjumlah empat dengan posisi memegang cakra berapi, sara, serta seekor kerbau. Tangan kiri juga berjumlah empat, masing-masing memegang sangkha, dua pasa, dan rambut asura. Tangan kanan melambangkan kebajikan atau kebaikan yang diartikan sebagai penguasa tanaman dan kesuburan. Hal ini dilambangkan oleh seekor kerbau atau Sang Hyang Nandini, sedangkan tangan kiri sebagai lambang angkara murka, pembinasa asura, dan menguasai berbagai penyakit menular. Oleh karena Kebo-Keboan masih berkaitan dengan kerjaan Blambangan, pemilihan kerbau sebagai media dalam upacara adat merupakan simbol kebaikan bagi rakyat, khusunya dalam bidang pertanian.

Penyajian Upacara Adat Kebo-Keboan di Desa Alasmalang

Kebo-keboan Alasmalang, Banyuwangi -  Indonesia / foto : Wisnu Bangun Saputro 
Tradisi Kebo-Keboan di Alasmalang berfungsi sebagai daya tarik pariwisata. Oleh karena itu penyajiannya banyak melalui proses modifikasi. Alur pelaksanaan upacara adat Kebo-Keboan di desa Alasmalang adalah sebagai berikut:

Pertama, melaksanakan syukuran dengan melakukan makan bersama di sepanjang jalanan desa. Sajian makanan terdiri dari 12 tumpeng dan lauk pauknya. Angka dua belas pada tumpeng melambangkan jumlah bulan pada satu tahun. Tumpeng tersebut dilengkapi degan jenang Sengkolo sebanyak lima porsi. Angka lima pada porsi jenang Sengkolo merupakan simbol dari jumlah hari pasaran dalam kalender Jawa. Selain jenang Sengkolo, ada juga jenang Suro sebanyak tujuh porsi. Angka tujuh melambangkan jumlah hari dari satu minggu. Selain melakukan syukuran, para pawang adat melakukan meditasi di tempat-tempat yang diaggap keramat. Tempat-tempat tersebut di antaranya, Watu Laso, Watu Gajah, dan Watu Tumpeng.


Kegiatan Kedua, mengarak tiga puluh manusia kerbau mengelilingi empat penjuru desa yang dipimpin oleh tokoh adat. Di setiap penjuru desa sudah disiapkan sesaji sebagai simblol peolak bala. Kegiatan arak-arakan tersebut biasa disebut ider bumi. Dalam kegiatan ider bumi, tokoh yang menjadi manusia kerbau yaitu para petani. Gerakan yang dilakukan menyerupai kerbau yang sedang membajak sawah. Selain asesoris tanduk, di pundak manusia kerbau juga dipasang peralatan untuk membajak. Di belakang arak-arakan manusia kerbau, ada sebuah kereta yang terbuat dari berbagai hasil bumi. Kereta tersebut adalah kendaraan yang digunakan oleh Dewi Sri, yang melambangkan dewi padi dan dewi kesuburan.

Kegiatan ketiga, diakhiri dengan penanaman benih padi oleh manusia kerbau, yang diharapkan bisa memberikan panen yang melimpah. Selain itu, tokoh yang mempunyai peran sebagai Dewi Sri, mempunyai tugas untuk membagikan benih padi tersebut.
Selain dalam acara terakhir ini, kebo-keboan akan menarik masyarakat ke dalam lumpur, hal ini dipercaya bisa menolak bala dan mara bahaya.



Sumber data:
^ Bangun Saputro, Wisnu (29/02/2020). "keboan_Alasmalang,_Banyuwangi._07.jp"keboan_Alasmalang,_Banyuwangi._07.jp. Diakses tanggal 29/02/2020.
^ a b c d e f Nariswari, Rita (2018-09-23). "Kebo-keboan, Tradisi Sederhana di Banyuwangi yang Bernilai Besar"Tempo (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-04-05.
^ Bangun Saputro, Wisnu (29/02/2020). "Kebo-keboan Alasmalang Figure"Kebo-keboan Alasmalang figure. Diakses tanggal 29/02/2020.
^ Wiyata, A. Latief; Anoegrajekti, Novi; Maslikatin, Titik; Macaryus, Sudartomo (2015-03). "ETNOGRAFI SENI TRADISI DAN RITUAL USING: KEBIJAKAN KEBUDAYAAN DAN IDENTITAS USING".
^ a b "SUKU OSING. Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah WAWASAN BUDAYA NUSANTARA Dosen Pengampu : Ranang Agung S., S.Pd., M.Sn - PDF"docplayer.info. Diakses tanggal 2019-04-06.
^ "Inilah Makna Tradisi Kebo-keboan Alasmalang, Banyuwangi yang Digelar di Awal Suro"Surya. Diakses tanggal 2019-04-08.
^ a b c d e "Full text of "Komunitas Adat Using Desa Aliyan LR""archive.org. Diakses tanggal 2019-04-06.
Bangun Saputro, Wisnu (29/02/2020). https://www.instagram.com/p/Buztph6F7Gf. Diakses tanggal 29/02/2020. 

Kamis, 07 Januari 2016

Tradisi Pernikahan Suku Sasak Lombok Yang Di Tinggalkan

MERARIQ 

Indonesia merupakan negara Multi Kultural dimana yang maksudnaya adalaha negara yang memiliki banyak kebudayaan. Dari banyak kebudayaan ada satu yang menariq yaitu kebudayaan dari Suku Sasak, Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, budaya yang menarik adalah budaya atau seringkali menjadi tradisi yaitu MERARIQ. Kata Merariq merupakan bahasa Sasak yang berarti “Lari”, Merari’an berarti Melarikan. Merariq merupakan salah satu tradisi (upacara perkawinan) asli suku Sasak Lombok.
Tradisi Merariq Lombok 

Rabu, 30 Mei 2012

"PERANG OBOR"

BERMULA DARI KERBAU YANG DI TELANTARKAN

Sejarah

Pada jaman Kerajaan Demak, konon di Desa Tegalsambi, Jepara, tinggal seorang petani kaya bernama Kiai Babadan yang banyak sekali memiliki kerbau dan sapi. Tentu ia tidak dapat mengembalakan sendiri ternak-ternaknya. Ia kemudian meminta tetangganya yang bernama Ki Gemblong untuk menggembalakan ternaknya.

Meski berat, Ki Gemblong menyanggupi pekerjaan ini. Namun Ki Gemblong tidak melakukan pekerjaan sesuai dengan kesanggupanya. Sebaliknya ia menelantarkan kerbau dan sapi milik Kiai Babadan sehingga hewan itu menjadi kurus dan penyakitan.

Pada awalnya memang Ki Gemblong masih bisa menyembunyikan keadaan itu. Namun akhirnya Kiai Babadan mengetahui. Ia menjadi geram ketika melihat bahwa kondisi ternak miliknya yang kurus dan sakit-sakitan itu dibabkan oleh keteledoran yang disengaja oleh Ki Gemblong. Oleh karena kegeramannya yang memuncak, maka Kiai Babadan menghajar Ki Gemblong dengan mengunakan obor dari pelepah kelapa.

Menerima perlakuan yang demikian ini, Ki Gemblong ternyata tidak tinggal diam. Ia juga segera mengambil pelepah daun kelapa untuk melanjutnya dinyalakan sebagai obor untuk menghadapi Kiai Babadan. Dengan demikian terjadilah pertarungan atau perang obor antara Kiai Babadan dan Ki Gemblong.

Bukannya makin mereda, pertarungan ini semakin lama semaki sengit. Serunya pertarungan mengakibatkan terbakarnya kandang sapi dan kerbau. Seluruh hewan di dalam kandang pun akhirnya lari tunggang-langgang ketakutan. Namun demikian aneh sekali bahwa ternak yang semula berpenyakitan malah menjadi sembuh. Setelah mengetahui kenyataan seperti itu mereka berdua pun akhirnya mengakhiri perkelahian mereka.

Berdasarkan tradisi lisan yang berkembang di kalangan masyarakat Tegalsambi, sejak itu, anak-cucu Kyai Babadan dan Ki Gemblong lalu melakukan upacara perang obor ini dimaksudkan untuk mengusir segala roh jahat yang mendatangkan penyakit. Upacara itu dilengkapi pula dengan pergelaran wayang kulit. Ada prosesi untuk mengarak pusaka (Pedang Gendir Gambang Sari dan Podang Sari, sebuah arca, dan sebuah beduk dobol) yang dipercayai sebagai warisan sunan Kalijaga kepada Kebayan Tegalsambi. Kedua pedang kayu itu, konon, merupakan serpihan kayu yang dipakai membangun Masjid Demak

Simbol-simbol upacara

Peralatan utma yang dibutuhkan dalam upacara perang obor ini adalah pelepah daun kelapa kering (blarak). Selain itu jaga dibutuhkan daun pisang kering sebagai campuran bahan pembakar daun kelapa tersebut. Campuran pelepah daun kelapa kering dengan daun pisang ini kemudian ditata dengan bentuk tertentu sehingga bisa digunakan untuk memukul ataupun menusuk lawan. Pakaian yang digunakan saat ini sudah menggunakan seragam khusus untuk acara ini.

Pada saat ini para “pemain“ cendrung menggunakan pakaian yang bisa melindungi badan mereka dari pukulan obor yang bisa membuat kulit menjadi melepuh. Jadi peralatan obor yang terbuat dari daun kelapa dan daun pisang kering merupakan peralatan yang mememang sesuai dengan apa yang diceritakan dalam legenda Kyai Babadan dan Ki Gemblong.

Sedangkan obor dapat mempresentasikan sebuah symbol yang merupakan alat untuk mengusir kekuatan jahat yang mendatangkan penyakit dan berbagai mala petaka lain. Peralatan lain yang digunakan adalah beberapa benda yang dipandang keramat oleh masyarakat Desa Tegalsambi yang diarak pada waktu prosesi perang obor akan berlangsung yaitu sebuah arca, dua pedang kayu, dan bedug.

Prosesi upacara

Perang obor itu dilakukan oleh sekitar 50 orang warga desa. Jika kulit melepuh atau lebam kena gebuk akibat perang itu, luka tersebut bisa dipulihkan dalam sekejap dengan olesan air londoh. Oleh masyarakat setempat hal ini dipandang sebagai keajaiban dari Tuhan. Hal semacam ini bukan hanya diyakini oleh masyarakat awam namun juga dari pimpinan dari desa itu. Namun demikian para perangkat desa tidak mau menjelaskan air londoh itu berasal dari mana dan apa formulanya.

Biasanya upacara ini dilakukan pada bulan Zulhijjah, tepat malam Selasa Pon. Sebelum acara perang obor dimulai, terlebih dahulu diadakan selamatan di tujuh tempat yang dikeramatkan oleh masyarakat Tegalsambi. Setelah itu dilakukan penyembelihan seekor kerbau jantan muda yang belum pernah dipakai untuk membajak. Penyembelihan ini dilakukan di rumah kepala desa. Pada pukul 17.30 WIB (menjelang malam Selasa Pon) Salah satu perangkat desa (biasanya bayan / seksi keamanan) menaruh sesajen (berupa kendil berisi darah kerbau, sebagian jeroan, dan daging yang sudah dimasak). Menjelang pukul 20.00 WIB, sepanjang jalan menuju rumah petinggi dipadati ribuan pengunjung baik dari desa setempat maupun desa-desa lain. Sebelum api obor disulut pada pukul 20.00 WIB, petinggi diarak oleh pasukan obor mulai dari rumahnya hingga ke pusat upacara, di perapatan jalan tengah desa. Petinggi mengenakan pakaian adat jawa, diapit dua pawang api dan sesepuh desa.

Tepat pukul 20.00 upacara perang obor dimulai. Para peserta memakai seragam khusus bersepatu dan bertutup kepala. Doa-doa memohon restu kepada dayang (penguasa bumi Tegalsambi) pun dilakukan. Kemenyan dibakar, kemudian diiringi gending Kebo Giro, 50 orang dari empat jurusan di jalan desa menghambur ke perampatan jalan dengan obor blarak yang menyala. Perang pun dimulai dan berlaangsung selama hampir satu jam.

Sesuai upacara perang obor banyak anggota pasukan obor yang tangannya terluka lecet. Sekitar satu jam “peperangan” usai para anggota pasukan langsung menuju ke rumah kepala desa untuk mengobati luka dengan air kembang dari pusaka desa bernama Ki Songgo Buwono yang ruwat dirumah kepala desa.

Selasa, 18 Oktober 2011

Tradisi Potong Jari Papua

Apakah ungkapan kesedihan yang dipertunjukkan oleh seseorang yang kehilangan anggota keluarganya. Menangis, barang kali itu yang paling sering kita jumpai. Bagi umumnya masyarakat pengunungan tengah dan khususnya masyarakat Wamena ungkapan kesedihan akibat kehilangan salah satu anggota keluarga tidak hanya dengan menangis saja.
Biasanya mereka akan melumuri dirinya dengan lumpur untuk jangka waktu tertentu. Namun yang membuat budaya mereka berbeda dengan budaya kebanyakan suku di daerah lain adalah memotong jari mereka.

Hampir sama dengan apa yang dilakukan oleh para Yakuza (kelompok orangasasi garis keras terkenal di Jepang) jika mereka telah melanggar aturan yang telah ditetapkan oleh organisasi atau gagal dalam menjalankan misi mereka. Sebagai ungkapan penyesalannya, mereka wajib memotong salah satu jari mereka. Bagi masyarakat pengunungan tengah, pemotongan jari dilakukan apabila anggota keluarga terdekat seperti suami, istri, ayah, ibu, anak, kakak, atau adik meninggal dunia.

Pemotongan jari ini melambangkan kepedihan dan sakitnya bila kehilangan anggota keluarga yang dicintai. Ungkapan yang begitu mendalam, bahkan harus kehilangan anggota tubuh. Bagi masyarakat pegunungan tengah, keluarga memiliki peranan yang sangat penting. Bagi masyarakat Balim Jayawijaya kebersamaan dalam sebuah keluarga memiliki nilai-nilai tersendiri.

pemotongan jari itu umumnya dilakukan oleh kaum ibu. Namun tidak menutup kemungkinan pemotongan jari dilakukan oleh anggota keluarga dari pihak orang tua laki-laki atau pun perempuan. Pemotongan jari tersebut dapat pula diartikan sebagai upaya untuk mencegah 'terulang kembali' malapetakayang telah merenggut nyawa seseorang di dalam keluarga yang berduka.

Seperti kisah seorang ibu asal Moni (sebuah suku di daerah Paniai), dia bercerita bahwa jari kelingkingnya digigit oleh ibunya ketika ia baru dilahirkan. Hal itu terpaksa dilakukan oleh sang ibu karena beberapa orang anakyang dilahirkan sebelumnya selalu meninggal dunia. Dengan memutuskan jari kelingking kanan anak baru saja ia lahirkan, sang ibu berharap agar kejadianyang menimpa anak-anak sebelumnya tidak terjadi pada sang bayi. Hal ini terdengar sangat eksrim, namun kenyataannya memang demikian, wanita asal Moni ini telah memberikan banyak cucu dan cicit kepada sang ibu.

Pemotongan jari dilakukan dengan berbagai cara. Ada yang memotong jari dengan menggunakan alat tajam seperti pisau, parang, atau kapak. Cara lainnya adalah dengan mengikat jari dengan seutas tali beberapa waktu lamanya sehingga jaringanyang terikat menjadi mati kemudian dipotong.

Namun kini budaya 'potong jari' sudah ditinggalkan. sekarang jarang ditemui orang yang melakukannya beberapa dekade belakangan ini. Yang masih dapat kita jumpai saat ini adalah mereka yang pernah melakukannya tempo dulu. Hal ini disebabkan oleh karena pengaruh agama yang telah masuk hingga ke pelosok daerah di Papua.

Tradisi Carok (Madura)

Carok adalah tradisi pembunuhan karena alasan tertentu yang berkaitan dengan harga diri dan kemudian diikuti oleh antar kelompok atau antar-klan menggunakan senjata (biasanya celurit). Tidak ada peraturan resmi dalam pertarungan ini karena carok merupakan tindakan yang dianggap negatif dan kriminal dan ilegal. Ini adalah bagaimana orang Madura dalam mempertahankan harga diri dan “keluar” dari masalah yang rumit.
Biasanya, “carok” adalah cara terakhir oleh masyarakat Madura dalam memecahkan masalah. Carok biasanya terjadi ketika masalah datang yang menyangkut kehormatan / kebanggaan bagi orang-orang Madura (sebagian besar disebabkan ketidaksetiaan dan martabat / kehormatan keluarga)
Banyak yang menganggap carok adalah tindakan keji dan bertentangan dengan ajaran agama meskipun orang Madura sendiri kental dengan agama Islam secara umum, namun, secara individu, banyak yang masih memegang tradisi carok.
Kata carok sendiri berasal dari bahasa Madura yang berarti ‘bertarung dengan kehormatan’.

<p>Your browser does not support iframes.</p>

Upacara Kikir Gigi

Upacara Potong Gigi mengandung arti pembersihan sifat buruk yang ada pada diri manusia. Potong gigi dalam bahasa Bali Mepandes bisa juga disebut Matatah atau Mesanggih, dimana 6 buah taring yang ada di deretan gigi atas dikikir atau ratakan, upacara ini merupakan satu kewajiban, adat istiadat dan kebudayaan yang masih terus dilakukan oleh umat Hindu di Bali secara turun temurun sampai saat ini.
Upacara ini dianggap sakral dan diperuntukan bagi anak anak yang mulai beranjak dewasa, dimana bagi anak perempuan yang telah datang bulan atau mensturasi, sedangkan bagi anak laki laki telah memasuki masa akil baliq atau suaranya telah berubah, dengan upacara ini juga anak anak dihantarkan ke suatu kehidupan yang mendewasakan diri mereka yang di sebut juga niskala.
Adapun 6 sifat buruk dalam diri manusia atau disebut juga sad ripu yang harus dibersihkan tersebut adalah:
  1. Hawa nafsu
  2. Rakus/Tamak/keserakahan
  3. Angkara murka/kemarahan
  4. Mabuk membutakan pikiran
  5. Perasaan bingung
  6. Iri hati/ dengki
Dari semua sifat yang ada ini, bila tidak dikendalikan dapat mengakibatkan  hal hal  yang tidak baik/diinginkan, juga bisa merugikan dan membahayakan bagi anak anak yang akan beranjak dewasa kelak dikemudian hari. Oleh karena itu kewajiban bagi setiap orang tua untuk dapat memberi nasehat, bimbingan serta permohonan doa kepada Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha ) agar anak mereka terhindar dari 6 pengaruh sifat buruk yang sudah ada sejak manusia di lahirkan di dunia.
Kegiatan saat upacara
  1. Pendeta atau orang yang terhormat dalam upacara ini minta restu di tempat suci, lalu anak anak atau remaja yang akan melaksanakan potong gigi dipercikan air suci/tirta, setelah itu mereka memohon keselamatan untuk melaksanakan upacara.
  2. Pendeta melakukan potong rambut dan menuliskan lambang lambang suci  dengan tujuan mensucikan diri serta menandai adanya peningkatan status sebagai manusia, untuk meninggalkan masa kanak kanak ke masa remaja.
  3. Anak anak yang akan di potong giginya naik ke bale tempat pelaksaaan Mepandes dengan terlebih dahulu menginjak sesajen yang telah disediakan sebagai symbol mohon kekuatan kepada Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa).
  4. Setelah pemotongan gigi berlangsung, bekas air kumur kumur  dibuang di dalam buah kelapa gading, ini bertujuan agar tidak mengurangi nilai kebersihan dan kesakralan dalam menjalankan upacara ini.
  5. Lalu dilanjutkan dengan  melakukan penyucian diri oleh pendeta agar dapat menghilangkan bala/kesialan untuk menyongsong kehidupan masa remaja.
  6. Melaksanakan Mapedamel yang bertujuan sebagai symbol restu dari Dewa Semara dan Dewi Ratih agar dalam kehidupan masa remaja dan seterusnya menjadi orang yang bijaksana, dalam mengarungii kehidupan di masa datang. Di saat melakukan upacara ini anak anak mengenakan kain putih dan kuning, memakai benang pawitra berwarna tridatu (merah, putih dan hitam) sebagai simbol pengikat diri terhadap norma norma agama, kemudian anak anak yang dipotong giginya mencicipi 6 rasa (pahit, asam, pedas, sepat, asin dan manis) yang mempunyai arti dan makna makna tertentu.
  7. Setelah proses mapedamel dilakukan, dilanjutkan dengan upacara Natab Banten, yang bertujuan memohon anugerah kepada Hyang Widhi agar apa yang menjadi tujuan dapat tercapai.
  8. Setelah proses upacara tersebut dilakukan dilanjutkan dengan Metapak, tujuan adalah memberitahukan kepada anak nya bahwa kewajiban sebagai orang tua dari melahirkan, mengasuh dan membimbing sudah selesai, diharapkan  sang anak kelak setelah upacara ini menjadi orang yang berguna, sebaliknya si anak  kepada orang tua nya menghaturkan sembah sujud ungkapan terima kasih  sudah dengan susah payah berkorban jiwa dan raga untuk melahirkan mereka, mengasuh, membesarkan,  mendidik dan membimbing mereka menuju jalan yang baik dan benar sampai dewasa. (Ida Pandita Sri Bhagawan Dwija Warsa Nawa Sandhi)
Dari serangkaian upacara diatas dapat kita pahami bahwa dalam diri setiap manusia sejak mereka dilahirkan sudah terdapat sifat yang tidak baik, dengan melakukan upacara Mepandes ini anak yang sudah dewasa diingatkan dan diajarkan untuk tidak terjerumus dalam perbuatan yang dilarang agama dan bisa menjadi manusia yang berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat dan bangsa.

Kamis, 13 Oktober 2011

Upaca Tingkepan ( Tujuh Bulanan)

Upacara tingkepan disebut juga mitoni berasal dari kata pitu yang artinya tujuh, sehingga upacara mitoni dilakukan pada saat usia kehamilan tujuh bulan, dan pada kehamilan pertama. Dalam pelaksanaan upacara tingkepan, ibu yang sedang hamil tujuh bulan dimandikan dengan air kembang setaman, disertai dengan doa-doa khusus.

A. Tata Cara Pelaksanaan upacara Tingkepan :

I. 
Siraman dilakukan oleh sesepuh sebanyak tujuh orang. Bermakna mohon doa restu, supaya suci lahir dan batin.Setelah upacara siraman selesai, air kendi tujuh mata air dipergunakan untuk mencuci muka, setelah air dalam kendi habis, kendi dipecah.

II.
Memasukkan telur ayam kampung ke dalam kain (sarung) calon ibu oleh suami melalui perut sampai pecah, hal ini merupakan simbul harapan supaya bayi lahir dengan lancar, tanpa suatu halangan.

III.
Berganti Nyamping sebanyak tujuh kali secara bergantian, disertai kain putih. Kain putih sebagai dasar pakaian pertama, yang melambangkan bahwa bayi yang akan dilahirkan adalah suci, dan mendapatkan berkah dari Tuhan YME. Diiringi dengan pertanyaan sudah “pantas apa belum”, sampai ganti enam kali dijawab oleh ibu-ibu yang hadir “belum pantas.” Sampai yang terakhir ke tujuh kali dengan kain sederhana di jawab “pantes.”

Adapun nyamping yang dipakaikan secara urut dan bergantian berjumlah tujuh dan diakhiri dengan motif yang paling sederhana sebagai berikut :

a. Sidoluhur
b. Sidomukti
c. Truntum 
d. Wahyu Tumurun
e. Udan Riris
f. Sido Asih
g. Lasem sebagai Kain
h. Dringin sebagai Kemben

Makna nyamping yang biasa dipakai secara berganti-ganti pada upacara mitoni mempunyai beberapa pilihan motif yang semuanya dapat dimaknai secara baik antara lain sebagai berikut,

1. Wahyu Tumurun
     Maknanya agar bayi yang akan lahir menjadi orang yang senantiasa mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan selalu mendapat. Petunjuk dan perlindungan dari Nya 

2. Sido Asih
      Maknanya agar bayi yang akan lahir menjadi orang yang selalu di cintai dan dikasihi oleh sesama serta mempunyai sifat belas kasih 

3. Sidomukti.
   Maknanya agar bayi yang akan lahir menjadi orang yang mukti wibawa, yaitu berbahagia dan disegani karena kewibawaannya. 

4. Truntum.
    Maknanya agar keluhuran budi orangtuanya menurun (tumaruntum) pada sang bayi.

5. Sidoluhur.
    Maknanya agar anak menjadi orang yang sopan dan berbudi pekerti luhur. 

6. Parangkusumo.
    Maknanya agar anak memiliki kecerdasan bagai tajamnya parang dan memiliki ketangkasan bagai parang yang sedang dimainkan pesilat tangguh. Diharapkan dapat mikul dhuwur mendhem jero, artinya menjunjung harkat dan martabat orang tua serta mengharumkan nama baik keluarga. 

7. Semen romo.
    Maknanya agar anak memiliki rasa cinta kasih kepada sesama layaknya cinta kasih Rama dan Sinta pada rakyatnya. 

8. Udan riris.
  Maknanya agar anak dapat membuat situasi yang menyegarkan, enak dipandang, dan menyenangkan siapa saja yang bergaul dengannya. 

9. Cakar ayam.
   Maknanya agar anak pandai mencari rezeki bagai ayam yang mencari makan dengan cakarnya karena rasa tanggung jawab atas kehidupan anak-anaknya, sehingga kebutuhan hidupnya tercukupi, syukur bisa kaya dan berlebihan. 

10. Grompol.
   Maknanya semoga keluarga tetap bersatu, tidak bercerai-berai akibat ketidakharmonisan keuarga (nggrompol : berkumpul). 

11. Lasem.
         Bermotif garis vertikal, bermakna semoga anak senantiasa bertakwa pada Tuhan YME. 

12. Dringin.
      Bermotif garis horisontal, bermakna semoga anak dapat bergaul, bermasyarakat, dan berguna antar sesama. 

Mori dipakai sebagai busana dasar sebelum berganti-ganti nyamping, dengan maksud bahwa segala perilaku calon ibu senantiasa dilambari dengan hati bersih.Jika suatu saat keluarga tersebut bahagia sejahtera dengan berbagai fasilitas atau kekayaan atau memiliki kedudukan maka hatinya tetap bersih tidak sombong atau congkak, serta senantiasa bertakwa kepada Tuhan YME. 

IV. Pemutusan Lawe atau janur kuning yang dilingkarkan di perut calon ibu, dilakukan calon ayah menggunakan keris Brojol yang ujungnya diberi rempah kunir, dengan maksud agar bayi dalam kandungan akan lahir dengan mudah. 

V.  Calon nenek dari pihak calon ibu, menggendong kelapa gading dengan ditemani oleh ibu besan. Sebelumnya kelapa gading diteroboskan dari atas ke dalam kain yang dipakai calon ibu lewat perut, terus ke bawah, diterima (ditampani) oleh calon nenek, maknanya agar bayi dapat lahir dengan mudah, tanpa kesulitan. 
Calon ayah memecah kelapa, dengan memilih salah satu kelapa gading yang sudah digambari Kamajaya dan Kamaratih atau Harjuna dan Wara Sembodro atau Srikandi. 

VI. Upacara memilih nasi kuning yang diletak di dalam takir sang suami. Setelah itu dilanjutkan dengan upacara jual dawet dan rujak, pembayaran dengan pecahan genting (kreweng), yang dibentuk bulat, seolah-olah seperti uang logam. Hasil penjualan dikumpulkan dalam kuali yang terbuat dari tanah liat. Kwali yang berisi uang kreweng dipecah di depan pintu. Maknanya agar anak yang dilahirkan banyak mendapat rejeki, dapat menghidupi keluarganya dan banyak amal.

VII.
Hidangan sebagai ucapan syukur kepada Tuhan YME, yang disediakan dalam upacara Tingkepan antara lain : 
  • Tujuh Macam Bubur, termasuk bubur Procot.
  • Tumpeng Kuat , maknanya bayi yang akan dilahirkan nanti sehat dan kuat, (Tumpeng dengan Urab-urab tanpa cabe, telur ayam rebus dan lauk yang dihias).
  • Jajan Pasar, syaratnya harus beli di pasar (Kue,buah,makanan kecil)
  • Rujak buah-buahan tujuh macam, dihidangkan sebaik-baiknya supaya rujaknya enak,bermakna anak yang dilahirkan menyenangkan dalam keluarga.
  • Dawet, supaya menyegarkan.
  • Keleman Semacam umbi-umbian, sebanyak tujuh macam.
  • Sajen Medikingan, dibuat untuk kelahiran setelah kelahiran anak pertama dan seterusnya, macamnya : 
    • Nasi Kuning berbentuk kerucut
    • Enten-enten, yaitu kelapa yang telah diparut dicampur dengan gula kelapa dimasak sampai kering.
    • Nasi loyang, nasi kuning yang direndam dalam air,kemudian dikukus kembali dan diberi kelapa yang telah diparut.
    • Bubur procot yaitu tepung beras, santan secukupnya, gula kelapa dimasak secara utuh, dimasukkan ke dalam periuk untuk dimasak bersama-sama 

B. Kronologis Upacara Tingkepan

1. Waktu Pelaksanaan
Antara pukul 9.00 sampai dengan pukul 11.00 Calon ibu mandi dan cuci rambut yang bersih, mencerminkan kemauan yang suci dan bersih.
Kira-kira pukul 15.00-16.00, upacara tingkepan dapat dimulai, menurut kepercayaan pada jam-jam itulah bidadari turun mandi. undangan sebaiknya dicantumkan lebih awal pukul 14.30 WIB

2. Hari Pelaksanaan
Biasanya dipilih hari Rabu atau hari Sabtu, tanggal 14 dan 15 tanggal jawa, menurut kepercayaan agar bayi yang dilahirkan memiliki cahaya yang bersinar, dan menjadi anak yang cerdas.

3. Pelaksana yang menyirami/memandikan
Para Ibu yang jumlahnya tujuh orang, yang terdiri dari sesepuh terdekat. Upacara dipimpin oleh ibu yang sudah berpengalaman.

4. Perlengkapan yang diperlukan :
Satu meja yang ditutup dengan kain putih bersih, Di atasnya ditutup lagi dengan bangun tolak, kain sindur, kain lurik, Yuyu sekandang, mayang mekak atau letrek, daun dadap srep, daun kluwih, daun alang-alang. Bahan bahan tersebut untuk lambaran waktu siraman.

5. Perlengkapan lainnya 
  • Bokor di isi air tujuh mata air, dan kembang setaman untuk siraman.
  • Batok (tempurung) sebagai gayung siraman (Ciduk)
  • Boreh untuk mengosok badan penganti sabun.
  • Kendi dipergunakan untuk memandikan paling akhir. 
  • Dua anduk kecil untuk menyeka dan mengeringkan badan setelah siraman 
  • Dua setengah meter kain mori dipergunakan setelah selesai siraman. 
  • Sebutir telur ayam kampung dibungkus plastik 
  • Dua cengkir gading yang digambari Kamajaya dan Kamaratih atau Arjuna dan Dewi Wara Sembodro. 
  • Busana Nyamping aneka ragam, dua meter lawe atau janur kuning 
  • Baju dalam dan nampan untuk tempat kebaya dan tujuh nyamping, dan stagen diatur rapi. 
  • Perlengkapan Kejawen kakung dengan satu pasang kain truntum. Calon ayah dan ibu berpakain komplet kejawen, calon ibu dengan rambut terurai dan tanpa perhiasan. 
6. Selamatan/ Sesaji Tingkepan 
  • Tumpeng Robyong dengan kuluban, telur ayam rebus, ikan asin yang digoreng.
  • Peyon atau pleret adonan kue/nogosari diberi warna-warni dibungkus plastik, kemudian dikukus.
  • Satu Pasang Ayam bekakah (Ingkung panggang) 
  • Ketupat Lepet (Ketupat dibelah diisi bumbu) 
  • Bermacam-buah-buahan 
  • Jajan Pasar dan Pala Pendem (Ubi-ubian) 
  • Arang-arang kembang satu gelas ketan hitam goring sangan 
  • Bubur Putih satu piring 
  • Bubur Merah satu Piring 
  • Bubur Sengkala satu piring 
  • Bubur Procot/ Ketan Procot, ketan dikaru santan, setelah masak dibungkus dengan daun/janur kuning yang memanjang tidak boleh dipotong atau dibiting. 
  • Nasi Kuning ditaburi telur dadar, ikan teri goring, ayam,rempah 
  • Dawet Ayu (cendol, santan dengan gula jawa) 
  • Rujak Manis terdiri dari tujuh macam buah. 
  • Perlengkapan selamatan Tingkepan diatas, dibacakan doa untuk keselamatan seluruh keluarga. Kemudian dinikmati bersama tamu undangan dengan minum dawet ayu, sebagai penutup.