tradisi Indonesia

tradisi Indonesia
animasi

Rabu, 20 Juli 2011

Masih Pakek Tenaga Dalam

AGAKNYA tak ada hari dalam kejuaraan nasional pencak silat di Jakarta pekan silam berlalu tanpa protes. Mengapa? “Jurinya tidak jujur,” ucap manajer tim Aceh, S. Trisna. Ia memprotes keputusan pimpinan pertandingan ketika pesilat asuhannya, Ramli, dinyatakan kalah angka (14) atas Amrullah dari NTB. Ramli sempat menjatuhkan Amrullah 2 kali di ronde ke-3, katanya, maka jelas lebih unggul ketimbang lawannya yang cuma banyak ‘mencolek’. Sebaliknya di mata juri, walau Amrullah tak tampil sekarang Ramli, pukulannya banyak menghasilkan angka. “Colek-colek sekalipun, kalau itu biji, dicatat,” kata Sekjen IPSI, Harsoyo. Juga kekalahan pesilat puteri Rosiana telah menimbulkan protes tim Sumatera Selatan. Juri menyatakan Rosiana kalah melawan Yusni Haryani dari Aceh. Untuk setiap pertandingan wasit dibantu oleh 5 orang juri sebagai pemberi angka. Seorang wasit nasional — tak mau ditulis namanya — tampak meragukan kejujuran beberapa juri tersebut. Terutama bila yang bertanding adalah pesilat satu aliran dengan mereka, sekalipun berasal dari daerah lain. Contoh keraguannya Pesilat Bali Wayan Sudri, diandalkan untuk meraih medali emas. Tapi ketika di ronde penyisihan ketemu pesilat Jakarta, Maria, dan dipimpin oleh wasit dan juri dari aliran tertentu, ia langsung diperkirakan wasit nasional tadi di pihak yang kalah. Dan, benar. “Padahal teknik permainan Sudri jauh lebih baik dari musuhnya,” ujarnya kepada N. Wedja dari TEMPO. Harsoyo membantahnya. “Saya yakin, sewaktu bertugas para wasit dan juri itu melupakan alirannya,” ucapnya. Ia melihat kericuhan dalam kejuaraan, kini apalagi dulu disebabkan belum sempurnanya peraturan pertandingan. Dan, “penyempurnaan itu akan memerlukan waktu yang lama.” Kejuaraan nasional pencak silat baru diadakan 3 kali sejah 1976. Namun Ketua II IPSI, M.D. Junaedi mengakui bahwa faktor manusia (baca: aliran) memang belum sepenuhnya bisa dihilangkan. Kejuaraan nasional pencak silat ini tak hanya diwarnai oleh kurang sempurnanya peraturan pertandingan dan masalah aliran semata. Juga peran tenaga batin masih terlihat. Ada pemandangan, seperti kesurupan orang memukul-mukul dinding gelanggang olahraga Bulungan, Jaklrta, untuk maksud yang tidak jelas. Di Bulungan itu babak penyisihan dilangsungkan. Tahun-tahun sebelumnya, unsur tenaga batin ini malah ikut berperan sampai di lapangan pertandingan. Pernah dalam kejuaraan junior 1978, seorang pesilat yang dipukul tangannya merasakan sakitnya di hati. Dokter sampai bingung. Tapi di tangan dukun, ia jadi sembuh. “Apalagi namanya itu, kalau bukan kekuatan dalam,” cerita Junaedi. Faktor pemakaian tenaga dalam ini menurut Ketua Bidang Teknik dan Pengembangan IPSI, Januarno, masih sulit untuk dihilangkan sepenuhnya. “Masing-masing aliran belum bisa berkomunikasi secara baik,” katanya. Jumlah aliran dalam pencak silat ada sekitar 800. Guna mencegah penyalah-gunaan tenaga dalam itu, kali ini panitia menyiapkan sejumlah tenaga khusus. Jumlah dan orangnya tak disebutkan. Mereka itu ditunjuk oleh Dewan Pendekar. Kejuaraan nasional 1979 diikuti oleh 22 dari 24 propinsi yang sudah mempunyai pengurus daerah IPSI. Ada 137 pria dan 42 pesilat puteri mengikutinya. Tahun lalu, cuma 145 peserta. Maju? Ketua Panitia Pelaksana, Eddy Nalapraya sudah bergembira, sekalipun di beberapa daerah cabang ini masih dianak-tirikan. “Ada mereka yang datang dengan biaya sendiri,” katanya. DKI Jakarta, memang lebih mendapat perhatian dibandingkan daerah lain,�20berhasil mempertahankan Piala Menko Kesra Soerono dan menerima piala bergilir Presiden Soeharto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar